Ingin Pamer Malah Tekor

 

Pada era 90-an, para eksekutif perusahaan Jawa Pos Group bukanlah sederet orang yang bergelimang uang. Hampir semuanya adalah mantan karyawan yang meniti karir dari bawah dengan gaya hidup seperti masyarakat kebanyakan yang sederhana.

 

Kemajuan usaha membuat karirnya melambung dan kesejahteraannya membaik. Seiring dengan itu, berkenalanlah mereka dengan gaya hidup kelas menengah. Salah satunya: kartu kredit.

 

Dalam setiap pertemuan group, seperti biasa kami menghabiskan sebagian waktu seusai meeting dengan makan-makan bersama. Biasanya kami patungan dengan saweran uang tunai. Dahlan Iskan, juga ikut nyawer, bila berminat makan bersama.

 

Malam itu, dalam pertemuan di Surabaya tahun 1995, kami dan beberapa kawan sepakat makan di sebuah restoran setelah rapat selesai. Tidak ada agenda pertemuan lagi, selain hanya menunggu jadwal kepulangan dengan pesawat besok paginya.

 

Mendadak, satu kawan saya yang tidak perlu disebut di sini, berbaik hati. “Malam ini, saya yang traktir. Syaratnya, jangan makan di restoran biasa. Harus yang berkelas,” kata teman itu.

 

Kami terbengong-bengong dengan kebaikan hatinya. Maklumlah, kami semua sama miskinnya. Kok tiba-tiba ada yang sanggup jadi bandar. Syaratnya harus makan di restoran yang istimewa pula. Dapat duit dari mana dia?

 

“Saya sekarang punya ini,” kata teman itu, sambil menunjukkan sebuah kartu kredit dari sebuah bank asing yang terkenal. “Ini gold card. Bisa dipakai makan di restoran terkenal, sampai jutaan tanpa bayar tunai. Cukup gesek,” lanjutnya dengan bangga.

 

Kami semua terpana mendengar penjelasannya. Di antara kami, dialah orang pertama yang punya kartu kredit berwarna emas. Berarti, dia orang satu-satunya, yang punya kartu kredit sekelas Dahlan dan direksi Jawa Pos lainnya, saat itu.

 

Malam itu, kami sepakat berangkat naik taksi. Dahlan kami undang khusus agar ikut di antara rombongan, karena akan ditraktir di restoran yang tidak biasa, tetapi kami bingung tidak tahu restorannya. “Semua ikut saya, makan steak,” kata Dahlan. Kami semua mengikuti saran Dahlan.

 

Sampai di restoran, kami segera memesan menu. Tapi, begitu membaca harganya, kerongkongan kami serasa tercekat. “Wuiih mahal amaat?” kata saya dalam hati. Saya tengok kawan-kawan lainnya, semua bermimik sama. Setengah tidak percaya dan saling pandang. “Pilih steak wagyu. Itu paling enak dan hanya ada di sini,” kata Dahlan.

 

Wagyu adalah kosakata baru saya saat itu. Sama barunya dengan steak dan kartu kredit. Tidak terbayang, seperti apa wujud wagyu itu sehingga menjadi menu terenak. “Sudah semua saya pesankan saja, steak wagyu,” kata Dahlan. Kami menurut saja, karena seluruh menu yang ditawarkan, tidak ada yang kami kenal. Maklum, biasanya kami hanya makan-makan rawon, soto atau pecel saja.

 

Usai makan, tibalah saat membayar. Teman saya yang pemilik kartu kredit warna emas itu tampak blingsatan. Dia tidak percaya bahwa tagihannya berjumlah jutaan. “Mahal ya?” tanya Dahlan sembari tertawa kecil. “Iya Pak Bos, mahal banget. Masak daging sapi dipanggang saja semahal ini,” jawab teman saya yang jadi bandar itu, dengan penasaran.

 

Dahlan kemudian memanggil manager restoran. “Mas, tolong dijelaskan, mengapa daging wagyu itu mahal harganya,” kata Dahlan.

 

“Wagyu adalah daging sapi yang dipelihara secara khusus. Sapi ini dipelihara di Jepang. Selain diberi makanan terbaik, juga diberi terapi pijat setiap hari. Makanya, dagingnya sangat empuk dan termahal di dunia,” jelas manager restoran itu yang disambut kawan-kawan dengan ger-geran.

 

Dahlan selalu punya cara untuk untuk mengajarkan hidup sederhana kepada karyawannya.

Joko Intarto, pengalaman pribadi

Follow me @intartojoko

2 respons untuk ‘Ingin Pamer Malah Tekor

Add yours

Tinggalkan Balasan ke jasa desain grafis Batalkan balasan

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑